Pengertian Legenda atau cerita rakyat adalah cerita pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa yang memiliki kultur budaya yang beraneka ragam mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa.
Roro Jonggrang, Timun Mas, Si Pitung, Legenda Danau Toba, dan ber-Ibu Kandung Seekor Kucing merupakan sederetan cerita rakyat yang ada di Indonesia. Masih banyak sederetan cerita rakyat yang memang diperuntukkan bagi anak-anak.
Sayangnya ada sebagian cerita rakyat yang bersifat kontroversial karena dianggap tidak layak untuk anak. Sebut saja Sangkuriang, cerita yang mengisahkan seorang anak jatuh cinta dengan ibunya sendiri Ada beberapa pengertian mengenai arti kata dari Legenda yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Legenda (Latin legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka kisah tersebut telah mengalami distorsi (pembelokan)
sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya.
Roro Jonggrang, Timun Mas, Si Pitung, Legenda Danau Toba, dan ber-Ibu Kandung Seekor Kucing merupakan sederetan cerita rakyat yang ada di Indonesia. Masih banyak sederetan cerita rakyat yang memang diperuntukkan bagi anak-anak.
Sayangnya ada sebagian cerita rakyat yang bersifat kontroversial karena dianggap tidak layak untuk anak. Sebut saja Sangkuriang, cerita yang mengisahkan seorang anak jatuh cinta dengan ibunya sendiri Ada beberapa pengertian mengenai arti kata dari Legenda yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Legenda (Latin legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka kisah tersebut telah mengalami distorsi (pembelokan)
sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya.
Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifat-sifat folklor. Menurut Pudentia, legenda adalah cerita yang dipercaya oleh beberapa penduduk setempat benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci atau sakral yang juga membedakannya dengan mite.
Dalam KBBI 2005, legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Menurut Emeis, legenda adalah cerita kuno yang setengah berdasarkan sejarah dan yang setengah lagi berdasarkan angan-angan. Menurut William R. Bascom, legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Menurut Hooykaas, legenda adalah dongeng tentang hal-hal yang berdasarkan sejarah yang mengandung sesuatu hal yang ajaib atau kejadian yang menandakan kesaktian.
Dalam KBBI 2005, legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Menurut Emeis, legenda adalah cerita kuno yang setengah berdasarkan sejarah dan yang setengah lagi berdasarkan angan-angan. Menurut William R. Bascom, legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Menurut Hooykaas, legenda adalah dongeng tentang hal-hal yang berdasarkan sejarah yang mengandung sesuatu hal yang ajaib atau kejadian yang menandakan kesaktian.
contoh
Si Rusa dan Si Kulomang ( Maluku )
Alkisah, seekor rusa yang tinggal di hutan di kepulauan Aru merasa sangat bangga dengan kemampuan larinya. Ia selalu menantang setiap hewan untuk bertanding lari. Suatu hari ia menantang si Kulomang ( siput laut ) untuk bertanding lari di pinggir pantai sampai ke tanjung ke 11. Kulomang bekerjasama dengan teman-temannya untuk mengalahkan si rusa yang sombong. Setiap Kulomang berada di Tanjung yang berbeda-beda. Saat bertanding lari, rusa terkejut saat ia menyadari Kulomang selalu sudah berada di dekatnya. Si rusa berlari sekencang mungkin hingga ia kehabisan napas dan jatuh tak berdaya di Tanjung ke 10.
Si Sigarlaki dan Si Rimbat ( Sulawesi Utara )
Cerita ini mengisahkan tentang kegigihan hati seorang hamba, bernama Limbat dalam mempertahankan hidup atas dasar kejujurannya. Sigarlaki, sang majikan yang ahli mmenombak berusaha mencuranginya berkali-kali dengan berkata, siapa yang lebih cepat keluar dari air, Lembing atau Limbat, berarti ia kalah dan harus mengabdi lepada yang menang. Berkali-kali Sigarlaki mencoba mencurangi Limbat Namur Lembing yang ia lemparkan ke dalam air harus berkali-kali dicabutnya sebelum Limbat keluar dari air. Akhirnya Sigarlaki menyerah dan mengakui kegigihan seorang Limbat.
Buaya Ajaib ( Papua )
Kisah ini menceritakan tentang hubungan baik antara hewan dan manusia yang tahu membalas budi. Towjatuwo bertemu buaya yang dapat berbicara bernama Watuwe, di sungai Tami saat mencari batu tajam untuk menolong istrinya melahirkan. Watuwe membantu istri Towjatuwa melahirkan bayi laki-laki dan meramalkan anak tersebut akan menjadi pemburu yang handal, namun ia meminta agar Towjatuwa dan keturunannya untuk tidak berburu buaya. Apabila dilanggar Towjatuwe dan keturunannya tidak akan bertahan hidup. Sejak itu Towjatuwa dan keturunannya melindungi binatang yang ada di sekitar sungai Tami.
Batu Golog ( Nusa Tenggara Barat )
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain. Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi. Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja. Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.” Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi. Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq. Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker. Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya. (Cerita ini diadaptasi secara bebas dari I Nengah Kayun dan kawan-kawan, “Batu Goloq,” Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, hal. 21-25).
Suri Ikun dan Dua Burung ( Nusa Tenggara Timur )
Pada jaman dahulu, di pulau Timor hiduplah seorang petani dengan isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan tujuh orang perempuan. Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada sering dirusak oleh seekor babi hutan. Petani tersebut menugaskan pada anak laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begita mendengar dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan kebunnya. Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya. Saudaranya yang tertua bertugas membagi- bagikan daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, ia hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian kepala. Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun bersamannya mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai malam. Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para hantu jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju kerumah. Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan. Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu itu ia masih terlalu kurus. Ia kemudian dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap sekali. Namun untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri Ikun masih ada sinar yang masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua ekor anak burung yang kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka. Setelah sekian tahun, burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka ingin mem- bebaskan Suri Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi. Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya Suri Ikun berbahagia. (Diadaptasi bebas dari Ny. S.D.B. Aman,”Suri Ikun and The Two Birds,” Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976).
Tadulako Bulili( Sulawesi Tengah )
Di desa suatu desa bernama Bulili hiduplah 3 orang tadulako atau panglima perang. Mereka masing-masing bernama: Bantaili, Makeku dan Molove. Mereka terkenal sangat sakti dan pemberani. Tugas utama mereka adalah menjaga keselamatan desa itu dari serangan musuh. Pada suatu hari Raja Sigi mempersunting seorang gadis cantik Bulili. Mereka tinggal untuk beberapa bulan di desa itu hingga gadis itu mengandung. Pada saat itu Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke kerajaannya. Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya. Sepeningal Raja Sigi itu, perempuan itu melahirkan seorang bayi. Pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui suami perempuan itu. Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili. Sesampainya di Sigi, mereka bukannya disambut dengan ramah. Tetapi dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya. Mereka pun menguraikan maksud itu. Mereka menyampaikan bahwa mereka diutus untuk meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir. Dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka. Ia lalu berkata pada Tadulako itu: “kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah.” Dengan marahnya Tadulako Bantaili mengeluarkan kesaktiannya. Ia pun lalu mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi. Biasanya lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang. Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu. Dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka. Pada suatu tempat, terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar dan dalam. Dengan mudahnya mereka melompati sungai itu. Meskipun sambil menggendong lumbung padi, Bantaili berhasil melompatinya tanpa ada banyak ceceran beras dari lumbung itu. Sedangkan pasukan yang mengejar mereka tidak berani melompati sungai yang berarus deras. Mereka akhirnya kembali ke Sigi dengan kecewa. (Diadaptasi secara bebas dari Drs. A, Ghani Ali dan Kawan-kawan, “Tadulako Bulili,” Cerita Rakyat Sulawesi Selatan, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, 113-118).
La Dana dan Kerbaunya (Sulawesi Selatan)
La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan. Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang. Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah. Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu. Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong. Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.
Cerita rakyat Malin Kundang
Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah berganti tahun, ayah Malin Kundang tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin Kundang untuk mencari nafkah. Malin Kundang termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin Kundang sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang. Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin Kundang tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin Kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang . Tetapi karena Malin Kundang terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin Kundang segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. “Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak”, ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut . Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin Kundang segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai . Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin Kundang terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin Kundang lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin Kundang dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundangbeserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin Kundang kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin Kundang menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang . Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Cerita rakyat Sangkuriang
Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya. Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi. Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya. Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya. Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri. Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja. Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing. Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar. Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi. Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Cerita rakyat Bali
Manik Angkeran Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran. Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma." "Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.
Legenda Putri Nyale dari Lombok
Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini dibuat ruangan - ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja - raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting. Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya. Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale. Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini. Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama, malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan hujan rintik - rintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari Nyale mulai menampakkan diri bergulung - gulung bersama ombak yang gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur - angsur lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk timur. Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus dipertahankan karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional. Keajaiban Nyale bagi suku Sasak Lombok telah menimbulkan dongeng tentang kejadian yang tersebar hampir keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan sekitarnya. Dongeng ini sangat menarik dengan cerita yang sangat romantis dan berkembang melalui penuturan orang - orang tua yang kemudian tersusun dalam naskah tentang legenda Nyale.
Cerita Rakyat Jawa Barat
Asal Mula Kota Cianjur Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat susah menolong, tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan terhadap anak lelakinya sekalipun. Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati sering menolong orang yang membutuhkan pertolongannya. Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta syukuran, dengan harapan bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan mendapat jamuan makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya bisa mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak undangan yang tidak dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada yang mengeluh,”Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada yang mendoakan yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut. Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari harta tuan yang berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan ucapan yang menyakitkan hati, bahkan mengusirnya. Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena tidak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek. Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut. Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar dan megah adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat balasan yang setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat yang sejak tadi dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya tongkat tersbut kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir. Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa yang kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan mengingatkan warga desa, “banjir!!!” Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari. Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera mencari dan mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk untuk segera meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing. Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa yang dimilikinya bisa menyelematkannya. Dia tidak mau diajak pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa yang ada di desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera pergi dibalas dengan bentakan dan makian yang sungguh tidak enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi. Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat. Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru yang aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin mereka yang baru. Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi tanah di daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah yang kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran. Desa yang kemudian berkembang menjadi kota kecil inipun kemudian dikenal sebagai Kota Cianjur.
Cerita Rakyat Bahasa Inggris
Sangkuriang Long time ago in West Java, lived a beautiful girl named Dayang Sumbi. She was also smart and clever. Her beauty and intelligence made a prince from the heavenly kingdom of Kahyangan desire her as his wife. The prince asked permission from his father to marry Dayang Sumbi. People from Kahyangan could never live side by side with humans, but his father approved on one condition, when they had a child, the prince would transform into a dog. The prince accepted the condition. They get married and lived happily in the woods until Dayang Sumbi gave birth to a baby boy. The prince then changed into a dog named Tumang. Their son is named Sangkuriang. He was very smart and handsome like his father. Everyday, he hunted animals and looked for fruits to eat. One day, when he was hunting, Sangkuriang accidentally killed Tumang. His arrow missed the deer he was targeting and hit Tumang instead. He went home and tells her mother about the dog. “What?” Dayang Sumbi was appalled. Driven by sadness and anger, she grabbed a weaving tool and hit Sangkuriang’s head with it. Dayang Sumbi was so sad; she didn’t pay any attention to Sangkuriang and started to cry. Sangkuriang feel sad and also confused. How can his mother love a dog more than him? Sangkuriang then decided to go away from their home and went on a journey. In the morning, Dayang Sumbi finally stopped crying. She started to feel better, so she went to find Sangkuriang. But her son was no where to be found. She looked everywhere but still couldn’t find him. Finally, she went home with nothing. She was exhausted. She fell asleep, and in her dream, she meets her husband. “Dayang Sumbi, don’t be sad. Go look for my body in the woods and get the heart. Soak it with water, and use the water to bathe, and you will look young forever,” said the prince in her dream. After bathing with the water used to soak the dog’s heart, Dayang Sumbi looked more beautiful and even younger. And time passed by. Sangkuriang on his journey stopped at a village and met and fell in love with a beautiful girl.He didn’t realize that the village was his homeland and the beautiful girl was his own mother, Dayang Sumbi. Their love grew naturally and he asked the girl to marry him. One day, Sangkuriang was going on a hunt. He asked Dayang Sumbi to fix the turban on his head. Dayang Sumbi was startled when she saw a scar on his head at the same place where she, years ago, hit Sangkuriang on the head. After the young man left, Dayang Sumbi prayed for guidance. After praying, she became convinced that the young man was indeed her missing son. She realized that she had to do something to prevent Sangkuriang from marrying her. But she did not wish to disappoint him by cancelling the wedding. So, although she agreed to marry Sangkuriang, she would do so only on the condition that he provides her with a lake and built a beautiful boat, all in one night. Sangkuriang accepted this condition without a doubt. He had spent his youth studying magical arts. After the sun went down, Sangkuriang went to the hill. Then he called a group of genie to build a dam around Citarum River. Then, he commands the genies to cut down trees and build a boat. A few moments before dawn, Sangkuriang and his genie servants almost finished the boat. Dayang Sumbi, who had been spying on him, realised that Sangkuriang would fulfill the condition she had set. Dayang Sumbi immediately woke all the women in the village and asked them to wave a long red scarf. All the women in the village were waving red scarf, making it look as if dawn was breaking. Deceived by false dawn, the cock crowed and farmers rose for the new day. Sangkuriang’s genie servants immediately dropped their work and ran for cover from the sun, which they feared. Sangkuriang grew furious. With all his anger, he kicked the unfinished boat. The boat flew and landed on a valley. The boat then became a mountain, called Mount Tangkuban Perahu (Tangkuban means upturned or upside down, and Perahu means boat). With his power, he destroyed the dam. The water drained from the lake becoming a wide plain and nowadays became a city called Bandung (from the word Bendung, which means Dam).
Alkisah, seekor rusa yang tinggal di hutan di kepulauan Aru merasa sangat bangga dengan kemampuan larinya. Ia selalu menantang setiap hewan untuk bertanding lari. Suatu hari ia menantang si Kulomang ( siput laut ) untuk bertanding lari di pinggir pantai sampai ke tanjung ke 11. Kulomang bekerjasama dengan teman-temannya untuk mengalahkan si rusa yang sombong. Setiap Kulomang berada di Tanjung yang berbeda-beda. Saat bertanding lari, rusa terkejut saat ia menyadari Kulomang selalu sudah berada di dekatnya. Si rusa berlari sekencang mungkin hingga ia kehabisan napas dan jatuh tak berdaya di Tanjung ke 10.
Si Sigarlaki dan Si Rimbat ( Sulawesi Utara )
Cerita ini mengisahkan tentang kegigihan hati seorang hamba, bernama Limbat dalam mempertahankan hidup atas dasar kejujurannya. Sigarlaki, sang majikan yang ahli mmenombak berusaha mencuranginya berkali-kali dengan berkata, siapa yang lebih cepat keluar dari air, Lembing atau Limbat, berarti ia kalah dan harus mengabdi lepada yang menang. Berkali-kali Sigarlaki mencoba mencurangi Limbat Namur Lembing yang ia lemparkan ke dalam air harus berkali-kali dicabutnya sebelum Limbat keluar dari air. Akhirnya Sigarlaki menyerah dan mengakui kegigihan seorang Limbat.
Buaya Ajaib ( Papua )
Kisah ini menceritakan tentang hubungan baik antara hewan dan manusia yang tahu membalas budi. Towjatuwo bertemu buaya yang dapat berbicara bernama Watuwe, di sungai Tami saat mencari batu tajam untuk menolong istrinya melahirkan. Watuwe membantu istri Towjatuwa melahirkan bayi laki-laki dan meramalkan anak tersebut akan menjadi pemburu yang handal, namun ia meminta agar Towjatuwa dan keturunannya untuk tidak berburu buaya. Apabila dilanggar Towjatuwe dan keturunannya tidak akan bertahan hidup. Sejak itu Towjatuwa dan keturunannya melindungi binatang yang ada di sekitar sungai Tami.
Batu Golog ( Nusa Tenggara Barat )
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain. Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi. Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja. Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.” Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi. Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq. Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker. Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya. (Cerita ini diadaptasi secara bebas dari I Nengah Kayun dan kawan-kawan, “Batu Goloq,” Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, hal. 21-25).
Suri Ikun dan Dua Burung ( Nusa Tenggara Timur )
Pada jaman dahulu, di pulau Timor hiduplah seorang petani dengan isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan tujuh orang perempuan. Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada sering dirusak oleh seekor babi hutan. Petani tersebut menugaskan pada anak laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begita mendengar dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan kebunnya. Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya. Saudaranya yang tertua bertugas membagi- bagikan daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, ia hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian kepala. Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun bersamannya mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai malam. Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para hantu jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju kerumah. Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan. Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu itu ia masih terlalu kurus. Ia kemudian dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap sekali. Namun untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri Ikun masih ada sinar yang masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua ekor anak burung yang kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka. Setelah sekian tahun, burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka ingin mem- bebaskan Suri Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi. Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya Suri Ikun berbahagia. (Diadaptasi bebas dari Ny. S.D.B. Aman,”Suri Ikun and The Two Birds,” Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976).
Tadulako Bulili( Sulawesi Tengah )
Di desa suatu desa bernama Bulili hiduplah 3 orang tadulako atau panglima perang. Mereka masing-masing bernama: Bantaili, Makeku dan Molove. Mereka terkenal sangat sakti dan pemberani. Tugas utama mereka adalah menjaga keselamatan desa itu dari serangan musuh. Pada suatu hari Raja Sigi mempersunting seorang gadis cantik Bulili. Mereka tinggal untuk beberapa bulan di desa itu hingga gadis itu mengandung. Pada saat itu Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke kerajaannya. Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya. Sepeningal Raja Sigi itu, perempuan itu melahirkan seorang bayi. Pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui suami perempuan itu. Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili. Sesampainya di Sigi, mereka bukannya disambut dengan ramah. Tetapi dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya. Mereka pun menguraikan maksud itu. Mereka menyampaikan bahwa mereka diutus untuk meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir. Dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka. Ia lalu berkata pada Tadulako itu: “kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah.” Dengan marahnya Tadulako Bantaili mengeluarkan kesaktiannya. Ia pun lalu mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi. Biasanya lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang. Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu. Dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka. Pada suatu tempat, terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar dan dalam. Dengan mudahnya mereka melompati sungai itu. Meskipun sambil menggendong lumbung padi, Bantaili berhasil melompatinya tanpa ada banyak ceceran beras dari lumbung itu. Sedangkan pasukan yang mengejar mereka tidak berani melompati sungai yang berarus deras. Mereka akhirnya kembali ke Sigi dengan kecewa. (Diadaptasi secara bebas dari Drs. A, Ghani Ali dan Kawan-kawan, “Tadulako Bulili,” Cerita Rakyat Sulawesi Selatan, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, 113-118).
La Dana dan Kerbaunya (Sulawesi Selatan)
La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan. Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang. Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah. Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu. Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong. Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.
Cerita rakyat Malin Kundang
Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah berganti tahun, ayah Malin Kundang tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin Kundang untuk mencari nafkah. Malin Kundang termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin Kundang sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang. Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin Kundang tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin Kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang . Tetapi karena Malin Kundang terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin Kundang segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. “Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak”, ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut . Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin Kundang segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai . Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin Kundang terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin Kundang lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin Kundang dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundangbeserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin Kundang kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin Kundang menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang . Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Cerita rakyat Sangkuriang
Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya. Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi. Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya. Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya. Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri. Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja. Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing. Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar. Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi. Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Cerita rakyat Bali
Manik Angkeran Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran. Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma." "Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.
Legenda Putri Nyale dari Lombok
Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini dibuat ruangan - ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja - raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting. Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya. Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale. Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini. Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama, malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan hujan rintik - rintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari Nyale mulai menampakkan diri bergulung - gulung bersama ombak yang gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur - angsur lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk timur. Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus dipertahankan karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional. Keajaiban Nyale bagi suku Sasak Lombok telah menimbulkan dongeng tentang kejadian yang tersebar hampir keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan sekitarnya. Dongeng ini sangat menarik dengan cerita yang sangat romantis dan berkembang melalui penuturan orang - orang tua yang kemudian tersusun dalam naskah tentang legenda Nyale.
Cerita Rakyat Jawa Barat
Asal Mula Kota Cianjur Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat susah menolong, tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan terhadap anak lelakinya sekalipun. Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati sering menolong orang yang membutuhkan pertolongannya. Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta syukuran, dengan harapan bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan mendapat jamuan makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya bisa mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak undangan yang tidak dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada yang mengeluh,”Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada yang mendoakan yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut. Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari harta tuan yang berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan ucapan yang menyakitkan hati, bahkan mengusirnya. Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena tidak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek. Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut. Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar dan megah adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat balasan yang setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat yang sejak tadi dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya tongkat tersbut kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir. Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa yang kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan mengingatkan warga desa, “banjir!!!” Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari. Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera mencari dan mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk untuk segera meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing. Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa yang dimilikinya bisa menyelematkannya. Dia tidak mau diajak pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa yang ada di desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera pergi dibalas dengan bentakan dan makian yang sungguh tidak enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi. Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat. Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru yang aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin mereka yang baru. Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi tanah di daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah yang kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran. Desa yang kemudian berkembang menjadi kota kecil inipun kemudian dikenal sebagai Kota Cianjur.
Cerita Rakyat Bahasa Inggris
Sangkuriang Long time ago in West Java, lived a beautiful girl named Dayang Sumbi. She was also smart and clever. Her beauty and intelligence made a prince from the heavenly kingdom of Kahyangan desire her as his wife. The prince asked permission from his father to marry Dayang Sumbi. People from Kahyangan could never live side by side with humans, but his father approved on one condition, when they had a child, the prince would transform into a dog. The prince accepted the condition. They get married and lived happily in the woods until Dayang Sumbi gave birth to a baby boy. The prince then changed into a dog named Tumang. Their son is named Sangkuriang. He was very smart and handsome like his father. Everyday, he hunted animals and looked for fruits to eat. One day, when he was hunting, Sangkuriang accidentally killed Tumang. His arrow missed the deer he was targeting and hit Tumang instead. He went home and tells her mother about the dog. “What?” Dayang Sumbi was appalled. Driven by sadness and anger, she grabbed a weaving tool and hit Sangkuriang’s head with it. Dayang Sumbi was so sad; she didn’t pay any attention to Sangkuriang and started to cry. Sangkuriang feel sad and also confused. How can his mother love a dog more than him? Sangkuriang then decided to go away from their home and went on a journey. In the morning, Dayang Sumbi finally stopped crying. She started to feel better, so she went to find Sangkuriang. But her son was no where to be found. She looked everywhere but still couldn’t find him. Finally, she went home with nothing. She was exhausted. She fell asleep, and in her dream, she meets her husband. “Dayang Sumbi, don’t be sad. Go look for my body in the woods and get the heart. Soak it with water, and use the water to bathe, and you will look young forever,” said the prince in her dream. After bathing with the water used to soak the dog’s heart, Dayang Sumbi looked more beautiful and even younger. And time passed by. Sangkuriang on his journey stopped at a village and met and fell in love with a beautiful girl.He didn’t realize that the village was his homeland and the beautiful girl was his own mother, Dayang Sumbi. Their love grew naturally and he asked the girl to marry him. One day, Sangkuriang was going on a hunt. He asked Dayang Sumbi to fix the turban on his head. Dayang Sumbi was startled when she saw a scar on his head at the same place where she, years ago, hit Sangkuriang on the head. After the young man left, Dayang Sumbi prayed for guidance. After praying, she became convinced that the young man was indeed her missing son. She realized that she had to do something to prevent Sangkuriang from marrying her. But she did not wish to disappoint him by cancelling the wedding. So, although she agreed to marry Sangkuriang, she would do so only on the condition that he provides her with a lake and built a beautiful boat, all in one night. Sangkuriang accepted this condition without a doubt. He had spent his youth studying magical arts. After the sun went down, Sangkuriang went to the hill. Then he called a group of genie to build a dam around Citarum River. Then, he commands the genies to cut down trees and build a boat. A few moments before dawn, Sangkuriang and his genie servants almost finished the boat. Dayang Sumbi, who had been spying on him, realised that Sangkuriang would fulfill the condition she had set. Dayang Sumbi immediately woke all the women in the village and asked them to wave a long red scarf. All the women in the village were waving red scarf, making it look as if dawn was breaking. Deceived by false dawn, the cock crowed and farmers rose for the new day. Sangkuriang’s genie servants immediately dropped their work and ran for cover from the sun, which they feared. Sangkuriang grew furious. With all his anger, he kicked the unfinished boat. The boat flew and landed on a valley. The boat then became a mountain, called Mount Tangkuban Perahu (Tangkuban means upturned or upside down, and Perahu means boat). With his power, he destroyed the dam. The water drained from the lake becoming a wide plain and nowadays became a city called Bandung (from the word Bendung, which means Dam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar